Konsep Perkawinan
dalam Undang-Undang Perkawinan no.1 Tahun 1974:
Perkawinan adalah ikatan
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk laki-laki minimal sudah berusia 19 tahun, dan
untuk perempuan harus sudah berusia minimal 16 tahun. Jika menikah dibawah usia
21 tahun harus disertai dengan ijin kedua atau salah satu orangtua atau yang
ditunjuk sebagai wali.
Konsep perkawinan lebih
difokuskan kepada keadaan dimana seorang laki-laki dan seorang perempuan hidup
bersama dalam kurun waktu yang lama. Dalam hal ini hidup bersama dapat
dikukuhkan dengan perkawinan yang syah sesuai dengan undang-undang atau
peraturan hukum yang ada (perkawinan de jure) ataupun tanpa pengesahan
perkawinan (de facto). Konsep ini dipakai terutama untuk mengkaitkan status
perkawinan dengan dinamika penduduk terutama banyaknya kelahiran yang
diakibatkan oleh panjang-pendeknya perkawinan atau hidup bersama ini.
Norma dan adat di Indonesia
menghendaki adanya pengesahan perkawinan secara agama maupun secara
undang-undang. Tetapi untuk keperluan studi demografi, Badan Pusat Statistik
mendefinisikan seseorang berstatus kawin apabila mereka terikat dalam
perkawinan pada saat pencacahan, baik yang tinggal bersama maupun terpisah, yang
menikah secara sah maupun yang hidup bersama yang oleh masyarakat sekelilingnya
dianggap sah sebagai suami istri (BPS, 2000).
Definisi luas tentang perkawinan
ini digunakan oleh BPS karena dalam kenyataannya pada suatu masyarakat sering
diketemukan banyak pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tanpa
ikatan perkawinan yang sah secara hukum. Seringkali hal ini disebabkan karena
persyaratan perkawinan yang sah memberatkan kedua belah pihak yang hendak
menikah, misalnya biaya perhelatan adat yang terlampau tinggi, tidak mampu
membayar biaya memproses perkawinan yang syah atau biaya mahar yang tidak
terjangkau oleh pasangan yang hendak menikah secara resmi.
Rumah Tangga
Informasi tentang jumlah rumah
tangga, komposisi rumah tangga dan karakteristik demografi, sosial dan ekonomi sangat diperlukan dalam perencanaan
maupun implementasi kebijakan pemenuhan pelayanan dasar seperti perumahan,
pendidikan, kesehatan, pangan, intervensi pengentasan kemiskinan dan lain
sebagainya.
Untuk memenuhi kebutuhan data
rumah tangga, BPS telah melakukan pendataan rumah tangga baik dalam Sensus
Penduduk, Supas maupun Susenas. Bahkan pada akhir tahun 2005 telah dilakukan
pendataan khusus rumah tangga miskin dengan menggunakan 14 indikator kemiskinan
untuk memenuhi kebutuhan berbagai program pelayanan dasar tersebut. Data rumah
tangga yang dikumpulkan BPS biasanya mencakup data anggota rumah tangga dan
data anggota rumah tangga (individu).
BPS (2000) membagi rumah tangga menjadi dua yaitu rumah
tangga biasa dan rumah tangga khusus.
1. Rumah tangga biasa
adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh
bangunan fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu
dapur. Yang dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan jika
pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama.
2. Rumah tangga khusus
adalah sekelompok orang yang tinggal di asrama atau tempat tinggal yang
pengurusan sehari-harinya diatur oleh yayasan atau badan, misalnya asrama
mahasiswa, lembaga pemasyarakatan, orang-orang yang berjumlah lebih dari 10
orang yang kos dengan makan, asrama TNI dan lain sebagainya.
Keluarga
Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam
satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena
perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga dapat dibagi
menjadi 2 tipe yaitu:
1. Keluarga Inti
(Nuclear family), yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak
kandung, anak angkat maupun adopsi yang belum kawin, atau ayah dengan anak-anak
yang belum kawin atau ibu dengan anak-anak yang belum kawin.
2. Keluarga luas
(extended family), yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu anak-anak
baik yang sudah kawin atau belum, cucu, orang tua, mertua maupun
kerabat-kerabat lain yang menjadi
tanggungan kepala.
Living Arrangement
Pengaturan tinggal bersama dalam rumah tangga mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan tipe keluarga, yaitu:
• Rumah tangga yang
kepala rumah tangganya hidup sendiri (single household)
• Rumah tangga yang
kepala rumah tangganya hidup bersama pasangannya saja.
• Rumah tangga yang
kepala rumah tangganya tinggal bersama pasangan (istri/suami) dan anak-anak
yang belum menikah atau kepala rumah tangga tinggal hanya dengan anak-anak yang belum menikah disebut dengan
keluarga inti (nuclear family).
• Rumah tangga yang
kepala rumah tangganya tinggal dengan pasangan, anak, menantu cucu atau kepala rumah tangganya tinggal
dengan anak, menantu, cucu disebut sebagai keluarga luas (extended family).
• Rumah tangga yang kepala rumah tangganya
tinggal bersama, anak-anak/menantu cucu, orang tua/mertua dan kerabat lainnya
juga disebut sebagai keluarga luas (extended family).
Pola Konsumsi RT
Pola konsumsi rumah tangga
merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini
berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi
makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran
kesejahteraan rumah tangga tersebut.Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran
yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang
berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin
kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah
tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran
untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non
makanan.